Selamat datang

Penyejuk Hati membimbing anda menuju ketentraman....

Berkah Herbal

Kunci Sehat dan Sukses

Sabtu, 11 Juni 2011

Cerpen Inspiratif



Senyum Kemenangan di Penghujung Jalan


Di pagi itu gerimis turun, di dalam kamarnya yang megah Nazwa duduk terpaku disamping ranjang sambil memandang kosong ke arah jendelanya yang menghadap halaman rumah. Yang ada dalam fikirannya adalah bagaimana senangnya ia jika berada diantara tetesan – tetesan hujan itu berlari kesana kemari. Sesaat ia tersenyum senang, tapi kembali murung seraya ia ingat kalau itu tidak mungkin. Karna penyakit kangker otak yang di idap tubuhnya.
Nazwa, begitu ia dipanggil. Namanya manis.. semanis senyumnya, hidungnya yang mancung, alisnya runcing kebawah dengan bola mata yang indah seakan menari – nari disana. Ia adalah gadis yang yang masih berusia 18 tahun dengan seorang ibu yang setia merawatnya seorang diri, tanpa seorang suami.
Tok… tok… tok… “Nazwa sayang, ayo makan nak..”
Ketukan pintu dan suara ibunya itu seketika membuyarkan lamunannya. Sekejap kemudian Nazwa sudah berjalan menuju pintu kamarnya seraya berkata.
“iya ma, tunggu sebentar..”
Sesaat setelah pintu dibuka, ia melihat ibunya sudah tersenyum dengan nampan berisi makanan dan minuman ditangan beliau.
“Sekarang makan nak ya, mama suapi.” Kata ibundanya sambil menarik tangannya dan berjalan menuju tempat tidur miliknya.
“Ma, Nazwa bosan makan bubur seperti itu terus..” ucap Nazwa sambil memelas.
“Nak, kamu mau sembuhkan.? Kalau mau sembuh, ya harus begini dulu caranya..”
Didalam bathin, sebenarnya ibundanya meringis. Karna kenyataannya sebenarnya tidak tidak begitu. Penyakit Nazwa sudah terlalu parah untuk di sembuhkan. Nazwapun berfikir seperti itu, tapi ia tidak mau melihat ibundanya sedih.
“Ya sudah, sini biar Nazwa saja menyuap sendiri.”
“nah, begitu dong.. baru anak mama…” bu Fatimah sambil memeluk anaknya.
Nazwa sudah selesai makan, ibunya tetap setia menemani.
“Nak, nanti kita sholat magrib kemesjid ya.. Banyak – banyak berdo’a biar kamu cepat sembuh.” Kata bu Fatimah kepada anaknya.
“iya ma, boleh juga..” sahut Nazwa.
Ditempat lain, seorang pemuda sedang asyik menyusun bukunya kedalam rak. Azwar, begitu ia dipanggil. Pemuda tampan itu baru saja sampai dikampungnya karna lama mondok di pesantren, dan baru saja lulus. Anak pasangan bu Nazilah dan pak Anwar itu memang suka sekali dengan hal yang berkaitan agama.

Sedang asyik – asyiknya, kumandang adzan dimesjid yang berjarak 500 meter dari rumahnya ternyata telah terdengar. Tanpa fikir panjang Azwarpun langsung berlari menuju kamar mandi lalu berwudhu. Dengan cepat juga ia langsung menuju mesjid, sepertinya ia tidak mau kehilangan sholat sunnahnya barang satu kali. Nazwa dan bu Fatimah juga bergegas menuju tempat yang sama.
Sholat magrib pada hari itu berjalan cukup khusyu’. Para jamaah sudah banyak yang meninggalkan mesjid. Tingallah Nazwa dan ibundanya beserta Azwar yang di pisahkan oleh tirai tipis. Azwar nampak khusyu’ dengan dzikirnya, dan dua beranak itu larut dalam do’a dan pengharapan mereka masing – masing.
Tiba – tiba Nazwa berteriak histeris.
“Aduuuh.. mama, kepala Nazwa sakit sekali maaa.. Nazwa gak kuat maaa… Aduuuh..”
Azwar kaget mendengarnya dan bergegas menuju tempat asal suara itu berada. Sesaat kemudian ia sudah menemukan bu Fatimah yang memeluk anaknya sambil ketakutan.
“Kenapa ini bu.?” Buka Azwar.
Tolong anak saya nak, penyakitnya sepertinya kambuh lagi.. tolong bantu saya membawanya kerumah.!” Sahut bu Fatimah dengan sedikit terbata.
Azwar terdiam sejenak dan berfikir.
“Bagaimana ini, saya tidak berhak menyentuh perempuan ini.. Tapi, kalau tidak saya tolongitu juga bisa menjadi dosa. Bismillah, mudahan pilihan saya tidak salah.”
“Ayo bu, kita angkat sama – sama..” kemudian Azwar dan bu Fatimah membawa Nazwa kerumah.
“Terima kasih banyak ya nak, ibu tidak tau kalau tidak ada kamu akan bagaimana jadinya.” Ucap bu Fatimah kepada Azwar.
Azwar tersenyum mendengar perkataan bu Fatimah, lalu ia berkata.
“Terima kasihnya buat Allah saja bu, saya inikan Cuma perantara. Hee..”
“Astaghfirullah.. iya nak kamu benar, Alhamdulillah.. Hemm, ngomong – ngomong sepertinya ibu baru sekali ini pernah melihat kamu. Kamu pendatang baru ya.?” Sahut bu Fatimah.
“Dibilang pendatang sih ya bukan juga, karna saya asli sini. Tapi memang saya baru datang tadi pagi kekampung ini, jadi maklum saja ibu tidak pernah melihat saya sebelumnya.” Jawab Azwar.
“Memangnya sebelum datang tadi pagi kamu tinggal dimana.?” Tanya bu Fatimah.
“Saya ini baru pulang dari nuntut ilmu bu,baru kemaren lulus dari pesantren.” Tutur Azwar.
“Berarti sudah banyak ilmu agamanya ya sekarang..” canda bu Fatimah.
“Hehe, insyaAllah bu.. Maaf, sepertinya sudah mulai larut malam.. saya permisi pulang dulu ya bu.”
Azwarpun beranjak pergi dari rumah Nazwa dan pulang menuju rumahnya.
Keesokan harinya, Nazwa bangun dari tidur dengan memegang kepalanya karna masih merasakan sedikit sakit akibat kambuhnya penyakitnya tadi malam. Ia lihat ibunya sudah ada disamping tempat tidurnya, duduk tertidur pulas. Mungkin kecapekan karna menjaga Nazwa hampir semalaman.
Dengan hati – hati ia bangkit dari tempat tidur menuju dapur untuk menyiapkn sapan buat ibunya. Ketia ia berbalik ingin menuju kamarnya, Nazwa kaget karna telah mendapati ibunya dibelakangnya dengan mata berbinar.
“Mama bangga sama kamu nak, biar sesakit apa keadaanmu, kamu tetap ingin membuat mama bangga.” Kata bu Fatimah kepada anak tercintanya.
“Karna cuma ini yang bisa Nazwa lakukan ma, Nazwa kan tidak bisa melakukan yang lebih dari ini agar mama bangga.”
Mendengar perkataan anaknya itu bu Fatimah jadi teringat dengan pemuda yang menolong anaknya tadi malam. Bu Fatimah sudah memikirkan suatu hal yang diharapkannya akan membuat Nazwa bahagia.
“Tadi malam mama ngobrol – ngobrol dengan pemuda yang sudah menolong kamu. Namanya Azwar.”
“Azwar…” Sahut Nazwa setengah berbisik.
Ada perasaan aneh yang menyusup kehatinya, mungkin karna ia salut dengan pemuda yang mau menolongnya itu.
“Kamu setuju tidak kalau mama minta ia untuk mengajarimu tentang ilmu agama.? Dari situ kamu bisa banyak tahu, kalau kamu sudah pinter mama jadi tambah bangga…” kata ibunya sambil tertawa kecil.
“Terserah mama saja, asal mama bahagia..” Sahut Nazwa di iringi dengan senyum.
Sore harinya bu Fatimah pergi kerumah Azwar, karna ia sudah tahu ternyata Azwar adalah anak teman baiknya yaitu bu Nazilah. Sesampainya dirumah Azwar, bu Fatimah mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak lama pintu dibuka, dan bu Nazilah menjawab salam
“Wa’alaikumussalam… eh, ada apa bu.? Sambut bu Nazilah.
“Begini bu, saya ada perlu dengan anak ibu yang namanya Azwar..” balas bu Fatimah.
“lho.? Kok ibu bisa kenal dengan anak saya.?.” sahut bu Nazilah setengah kaget.

Lalu bu Fatimah menceritakan kejadian dimesjid yang membuat ia kenal dengan anak bu Nazilah itu dan mengutarakan tujuannya datang kesana..
“Saya turut prihatin dengan keadaan Nazwa bu, mudan – mudahan saja ia bisa disembuhkan.” Kata bu Nazilah setelah mendengar penuturan ibunda Nazwa.
“Amiin.. mudah – mudahan saja ya bu..” Sahut beliau.
Sesaat wajah ibu paru baya itu terlihat murung, tapi ia tetap berusaha tersenyum. Ibu Nazilah berjanji akan menanyakan pendapat Azwar tentang hal tersebut. Akhirnya setelah mengucap salam, bu Fatimah pamit pulang.
“Bagaimana pendapatmu War.? Apa kamu bersedia mengajari anaknya bu Fatimah itu.?” Ucap bu Nazilah membuka perbincangan setelah makan malam. Sebelumnya beliau sudah menceritakan prihal tersebut kepada anaknya. Azwar telihat berfikir beberapa saat, lalu ia menjawab pertanyaan ibunya dengan santai.
“Yaa, Azwar sih mau – mau saja bu mengajarinya. Tapi apa tidak akan menimbulkan fitnah nantinya.?”
“ya tidak lah, kan nanti ada ibunya yang menemani.” Tutur bu Nazilah.
“betul juga ya.. waah, ibu sudah pandai ya sekarang.” Dengan nada jenaka Azwar menjawab. Ibunya pun tertawa menyaksikan tingkah laku anaknya itu. Sayang, pak Marwan sedang tidak ada drumah saat itu.
Hari berikutnya telah tiba, Azwar sudah berjalan menuju rumah Nazwa dengan santai. Ditangannya sudah tergenggam kitab fiqih yang cukup tebal. Sementara itu dari balik jendela kamarnya, Nazwa mengamati langkah laki – laki itu. Setelah sadar kalau laki – laki itu mungkin saja Azwar yang akan mengajarinya, ia langsung bangkit menuju lemari dan mengambil jilbab warna coklat kesukaannya.
Tak lama Azwar sudah masuk kerumah Nazwa dengan dipersilahkan oleh ibunya. Ibunya itu kemudian mengetuk kamarnya dan menyuruhnya untuk keluar.
“Nazwa, ayo cepat keluar.. Azwarnya sudah datang, tidak enak kalau ia menunggu terlalu lama.”
“Iya, mama duluan saja. Nazwa mau mencari buku dan polpen Nazwa dulu sebentar, nanti Nazwa nyusul.” Sahutnya.
Ya sudah, ibu tunggu ya..” setelah berucap, bu Fatimah langsung pergi.



Tak lama, Nazwa sudah keluar dari kamar menuju ruang tamu dengan mengenakan gamis dan kerudung coklatnya. Azwar pun terpana melihat kecantikan Nazwa, tak ia sangka gadis yang mengerang kesakitan waktu hendak ia tolong itu wajahnya menyerupai bidadari, itulah yang ada dalam fikirannya saat itu. Tapi tak ingin ia memandang wajah gadis yang begitu indah dimata itu karna takut akan dosa, ia beristighfar dalam hati lalu menundukkan kepala.
Bu Fatimah memulai pembicaraan dengan memperkenalkan nama mereka berdua masing – masing.
“Nazwa, ini Azwar yang menolong kamu tempo hari.. dan Azwar, ini Nazwa anak ibu.”
Keduanya tersipu malu setelah diperkenalkan seperti itu.
“Ayo silahkan kalau mau mulai belajarnya sekarang, ibu mengawasi dari dapur saja.” Lanjut bu Fatimah.
“Terima kasih atas kepercayaannya bu.” Sahut Azwar.
Nazwa terlihat sangat gugup saat itu, Azwar juga seperti itu. Tapi Azwar berusaha menutupinya dengan tetap tenang dan mulai menjelaskan bab thaharah, hal paling dasar dalam kitab fiqih. Dimulai dari pengertian, tata cara dan yang selanjutnya. Nazwa dengan mimik serius berusaha memahami apa yang dijelaskan Azwar. Tak terasa sudah dua jam berlalu, Azwar langsung minta diri untuk pulang.
Hari – hari terus berjalan, tak terasa sudah tiga minggu Azwar dan Nazwa semajelis, memberi dan menerima ilmu. Dan pertambahan waktu itu sudah membuat mereka lebih cair saat bertemu. Nazwa terlihat lebih semangat dari hari – hari sebelum mengenal Azwar, begitu juga Azwar. Ia semakin mengagumi adis dihadapannya itu, sepertinya ia mulai menaruh hati dengan Nazwa. Di samping ia merasa Nazwa anak yang cukup pandai, ia juga merasa gadis itu berjiwa muslimah sejati.
“Hayoo.. pak Ustadz kenapa melamun.? Sambar Nazwa mengagetkan Azwar sampai – sampai ia terperenjat. Tapi Azwar langsung bisa menguasai diri dan menyahut dengan polos.
“Saya bukannya melamun, tapi lagi memikirkan sesuatu hal. Hehehe.”
“Bedanya apa sama melamun.? Orang yang barusan tadi pengertiannya kan.?” Jawab Nazwa. Azwar diam saja sambil cengar – cengir mendengar hal itu.
Malam harinya Nazwa tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi sore bersama Azwar. Sebenarnya ia juga menaruh hati dengan Azwar, tapi ia malu untuk menunjukkan perasaannya itu. Karna seperti yang pernah didengarnya, malu adalah senjata perempuan.
Di ambilnya pena dan buku catatannya yang berada di atas meja disamping tempat tidur. Setiap malam sebenarnya ada hal yang slalu ia lakukan, yaitu menulis. Ia mulai menarik ujung penanya di atas kertas, barisan kata – kata penuh makna terukir indah disana.
Bukit nan tinggi tak mampu ku daki
Laut luas tak kuasa ku sebrangi
Asa hati hendak ku laku.
Tapi badan tak kuasa menyangga

Hati meringis terima takdir
Iri sangat melihat orang mampu
Hingga tetes butiran bening
Meratapi raga yang tak izinkan

Bulan datang sinari malam gelap
Buat semangat jalani hidup
Mengukir kata dekertas bening
Buat gundah hilang sudah

Satu lagi barisan kata indah menghias buku catatannya, yang mampu menggebukan semangat hidupnya. Itulah yang ia rasakan dikehidupannya, saat hatinya gundah ibunya selalu datang menyemangati dan membuat ia berfikir positif. Kalau hebat tak perlu slalu fisik yang mesti di andalkan, dengan fikiranpun kita bisa. Ia tutup buku catatannya lalu tidur sesudah membaca do’a.
Esoknya, Nazwa sudah duduk diruang tamu untuk menunggu Azwar. Tapi hari ini Nazwa terlihat murung. Tak lama Azwar datang mengucap salam dengan wajah secerah biasanya. Sedangkan Nazwa hanya menyahut dengan pelan, sikapnya itu membuat Azwar penasaran dan bertanya.
“Ada apa.? Kok murung..”
Nazwa menjawab lagi – lagi dengan pelan.
“Tidak ada apa – apa kok..” dengan memaksakan sedikit senyum diwajahnya
“Kalau ada masalah jangan dipendam, nanti jadi penyakit..” lanjut pak gurunya Nazwa itu.
Nazwa memikirkan kata – kata Azwar, lalu berkata.
“Kamu tau kan aku ini mengidap penyakit yang tergolong berbahaya.? Selama ini aku cuma bisa menyusahkan mama saja, aku ingin sekali melihat beliau bangga denganku. Tapi apa yang bisa aku lakukan dengan keadaan seperti ini.?”
Azwar diam saja mendengar perkataan Nazwa, karna ia tahu belum semua isi hati yang ditumpahkan oleh Nazwa.
“Aku takut jika nanti aku sudah tiada, hanya akan meninggalkan kesedihan untuk beliau, hanya tangis yang tersisa padanya..” suara Nazwa terdengar mulai parau.
“Pertanyaan itu slalu munculketika aku ingat dengat kangker otak yang ku idap, perih hati ini sudah mengalahkan sakit yang terasa dikepala, karna sakit hatiku lebih besar dari sakit badanku..”
Azwar ingin sekali memeluk dan mengelus kepala Nazwa.
“Andai saja kau sudah menjadi istriku, akan ku tenangkan kamu dengan pelukanku takan ku biarkan kau mengeluarkan air mata barang setetespun.” Katanya dalam hati.
Dengan berharap dapat menggebukan semangat Nazwa, Azwar berkata.
“Manusia di uji dengan 3 hal. Ibadah, maksiat dan musibah. Bisa tidak kita sabar dalam 3 hal itu, sabar dalam melaksaakan ibadah, dalam menjauhi maksiat dan menjalani musibah yang diberikan Allah kepada kita, orang sabar disayang oleh Allah.
Azwar berhenti sejenak untuk mengetahui apakah Nazwa menyimak dengan baik penjelasannya. Nazwa meminta Azwar untuk melanjutkan.
“Nah, ujian itu diberikan Allah untuk menghapus dosa atau meninggikan kedudukan kita disisiNya. Kalau kita banyak mengeluh atau berputus asa bukan sabar kan namanya.? Bukannya mendapat pahala malah jadi dosa.”
“Membanggakan orang tua itukan macam – macam caranya, tidak mesti dengan tubuh bugar saja kita baru bisa. Kita kan punya fikiran juga.”
“sudah faham gadis manis..?” tanya Azwar dengan senyum lebar.
“Tapi dengan cara apa yang hanya menggunakan fikiran.?” Nazwa balik bertanya.
“Hemm, biasanya kamu ngapain aja.?” Azwar juga kembali bertanya.
“Kok jadi begini sih, jadi main tanya – tanyaan..” sewot Nazwa.
Azwar tertawa mendengar perkataan gadis dihadapannya lalu ia menyahut.
“Ya kalau mau tahu jawabannya, jawab dulu pertanyaan dari saya tadi..”
“Aku suka menulis, berimajinasi dengan barisan kata – kata. Entah itu cerpen, atau pusi yang bermakana, yang mampu menguatkanku.” Jawab Nazwa dengan mata indahnya menerawang kosong entah kemana.
Azwar terlihat berfikir sejenak, ia menimbang – nimbang apa yang akan dikatakannya.
“”Begini saja, kebiasaan kamu itu dijadikan sesuatu yang akan membanggakan ibumu.”
Nazwa mengernyitkan dahinya, tanda bahwa ia tidak faham dengan perkataan Azwar.
“Kamu tulis cerita atau apalah yang bisa memotivasi kamu dan orang lain untuk tetap semangat dalam menjalani hidup. Saya punya kenalan yang bekerja di Percetakan dan Penerbitan, barang kali mereka mau menerbitkan buku yang ditulismu.” Lanjut Azwar.
Nazwa terlihat senang mendengar hal itu, ia berniat menulis sesuatu yang berharga. Yang mampu membakar semangat orang yang membacanya dan membuat ibunya bangga.
“Terim a kasih banyak ya, hari ini kamu sudah memberi semangat baru buat saya.” Kata Nazwa. Azwar hanya menganggukkan kepalanya.
Malam tiba, seperti biasa Nazwa kembali menulis. Tapi kali ini ia menulis dengan tujuan yang lain. Bukan hanya untuk menyemangati dirinya, tapi untuk memberi semangat para pembaca nantinya. Ia memulai dengan memberikan judul untuk bukunya, awalnya ia sempat bingung tapi tak berapa lama ia sudah mendapatkannya. Ia mulai menuliskan beberapa bait kata dibukunya itu. ‘Sehat, tak mesti jadi ukuran kehebatan’ setidaknya kata itulah yang dijadikannya semboyan untuk melakukan hal ini.
Malam sudah tinggal seperempat bagian. Ketika orang – orang sedak sibuk membuai mimpi, Azwar bangun seorang diri merasakan dinginnya malam dan segarnya air wudhu. Dihamparkannya sajadah menghadap kiblat, lalu berdiri tegak dan mengangkat takbir dengan sempurna. Dua, empat, enam, delapan rakaat sholat tahajud sudah dilaluinya. Ia kemudian memasuki rakaat yang keberikutnya. Dipenghujung sujud ia bermunajat meminta kepada Allah ampunan dosa untuknya, orang tua, dan tak lupa untuk Nazwa juga. Gadis yang telah memikat hatinya.
Setelah itu ia kembali kekamar dan duduk bersandar di atas kasur. Rasanya Azwar tidak kuat lagi menahan perasaannya lebih lama lagi. Ia ingin segera menyunting Nazwa, slalu bersama dengannya sampai takdir memisahkan. Tapi ia tidak tahu apakah Nazwa menyimpan rasa yang sama dengannya.
“Sudahlah, kalau jodoh takkan kemana..” kata Azwar pelan.
“Ma, kok Azwar belum datang juga ya.? Padahal sudah hampir jam lima.” Ucap Nazwa kepada ibunya.
Ibunya tersenyum mendengar kekawatiran Nazwa, ia tahu kalau anaknya mempunyai perasaan lain dengan Azwar.
“Ya tunggu saja sebentar lagi, mungkin dia terjebak macet dijalan, hehe.” Canda bu Fatimah.
Nazwa mencubit tangan ibunya mendengar hal itu, pasangan anak ibu itu memang gemar bercanda.
Tak lama yang ditunggu pun datang, ya seperti biasalah datang dengan senyum yang lebar. Menunjukkan gigi putihnya yang tertata rapi.
“Sudah siap belajar gadis manis.?” Tanyanya kepada Nazwa.
“Tentunya.. oh ya, bukuku sudah hampir selesai..” jawabnya sambil tersenyum lebar kepada pak ustadznya itu.
“Baguslah kalau begitu, kalau saya boleh tahu apa judul bukumu.? Azwar kembali bertanya.
“Sehat, tak mesti jadi ukuran kesehatan, disana aku menceritakan kisah seorang gadis yang berumur 18 tahun yang terserang penyakit ganas selama 4 tahun lebih, ia sempat terpuruk dan tidak bisa menerima kenyataan itu. Di saat dunia dirasanya sudah mau runtuh, dua orang yang bersih hatinya merapat mendampinginya. Memberikan semangat hidup untuknya hingga akhirnya dia mampu bangkit dari keterpurukan.” Tutur Nazwa.
Tetesan kecil jatuh kejilbabnya, aliran air mata itu sangat jelas terlihat di pipi putihnya. Nazwa rasa terharu dengan perkataannya sendiri. Azwarpun berusaha menahan supaya air matanya tidak mengalir. Ia tahu siapa orang yang diceritakan oleh Nazwa. Tapi biar bagaimana pun itu tidak akan menghalangi keinginan Azwar untuk menikahi Nazwa, bulan depan tepat 6 bulan ia mengajari gadis itu, akan ia laksanakan niatnya tersebut. insyaAllah.
Pada suatu malam, setelah beberapa hari dari hari ia menceritakan isi bukunya pada Azwar Nazwa melanjutkan bukunya yang tinggal beberapa kata lagi.

Biar seberapa besarpun musibah yang menimpa kita, seberapa lama pun rasa sakit, takut dan derita yang menghantui kita. Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Mereka yang sehat belum tentu sehebat kita pemikirannya, mereka yang sehat belum tentu mampu tegar jika berada dalam posisi kita. Buktikan bahwa kita mampu membanggakan orang – orang disamping kita dengan fikiran yang kita punya, InsyaAllah.

Itulah akhir dari buku yang ditulisnya.

Buku itu sudah Nazwa serahkan pada Azwar untuk dikirim. Azwar dengan senang menerimanya dan memnghubungi kenalannya yang bekerja diPercetakan dan Penerbitan. Setelah mendapatkan alamat yang jelas kantor tersebut, sore harinya Azwar langsung mengirimnya.
Nazwa mengerang cukup keras karna rasa sakit yang dahsyat dikepalanya. Bu Fatimah sangat panik pada saat itu, hanya ada satu orang yang ada difikirannya untuk diminta batuan. Azwar, dialah orangnya. Sementara ibunya menghubungi Azwar, Nazwa terus mengerang.
“Allaaaah… ampuni dosa hamba..” ucap Nazwa sebelum ia tak sadarkan diri.
Azwar, bu Nazilah dan suaminya, besaerta bu Fatimah menunggu dengan harap – harap cemas didepan pintu UGD. Tak lama dokter yang menangani Nazwa keluar lalu berkata.
“Maaf bu, kami belum bisa untuk menyadarkan anak ibu, sepertinya dia harus okname beberapa hari untuk mengetahui perkembangan keadaan anak ibu.” Bu Fatimah tersandar lesu mendengar perkataan dokter itu. Azwarpun terlihat sangat sedih, tapi mereka harus berserah.
Sudah dua minggu Nazwa dirawat di rumah sakit, tak ada perubahan berarti yang terjadi pada dirinya. Tetap terbujur kaku, dengan infus dan oksigen terpasang ditubuhnya. Azwar yang berada disampingnya seorang diri terisak – isak menahan tangis, pedih hatinya melihat gadis impiannya dalam keadaan seperti itu. Ia takut impiannya tak mampu terwujud. Tiba – tiba pintu kamar terbuka perlahan, tanpa disadari Azwar bu Fatimah muncul dan mendekatinya. Bu Fatimah yang melihat keadaan itu, tanpa disangka – sangka berucap.
“Nikahilah anakku Nazwa…”
Azwar kaget dan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Sungguh, ibu ingin melihat kalian bahagia.. Nazwa sebenarnya juga menyimpan perasaan denganmu, tapi ia malu untuk mengungkapkannya.” Lanjut bu Fatimah.
Azwar memantapkan hati dan menjawab.
“Saya ingin menikahinya sekarang juga bu…”
“Sungguh.? Kalau begitu ibu akan meminta pamannya Nazwa untuk menjadi wali.’
“InsyaAllah bu, saya akan menyuruh bunda kepasar mencari mas kawin dan menyuruh ayah untuk mengabari keluarga yang lain.”
Semua serasa mimpi bagi Azwar, akhirnya ia akan memiliki gadis impiannya tersebut walaupun tidak dalam keadaan yang diharapkan.
“Saya terima nikahnya Nazwa Khairunnisa binti Abdullah dengan mas kawin cincin emas seberat lima gram dibayar tunai.!!” Azwar menjawab dengan suara lantang di iringi kalimat sah dari para saksi dan penghulu. Semuanya terlihat senang, begitu juga bu Fatimah. Walaupun masih ada sedikit gurat sedih di wajahnya.
Bu Fatimah dan Azwar duduk di samping Nazwa, berharap gadis itu akan membuka mata. Ternyata harapan mereka di dengar dan di kabulkan Allah, Nazwa telah membuka matanya. Senyumnya mengembang seperti sebelum ia terbaring dirumah sakit.
“Azwar… Mama..” kata yang pertama keluar dari mulutnya.
“Iya nak..” sahut ibunya dengan aliran air mata.
“Maafkan Nazwa selama ini sering menyusahkan mama, mulai sekarang Nazwa tidak akan menyusahkan mama lagi. Karna sekarang, Nazwa sudah menjadi miliknya Azwar.” Dengan nada senang Nazwa mengucapkannya, ia bagai mengetahui apa yang sudah terjadi hari itu.
Azwar tak mampu lagi berkata – kata saking senang dan terharunya. Bu Fatimah kemudian berlalu keluar karna ingin memberi kesempatan pada pengantin baru itu untuk berdua.
Mereka saling berpandangan dan diam seribu bahasa, akhirnya Azwar mengalah untuk memulai terlebih dahulu.
“Aku mencintaimu…” hanya itu yang dapat ia katakan.
“Aku juga mencintaimu…” sahut Nazwa.
“Aku ingin kau kecup keningku..” lanjutnya.
Nazwa memejamkan mata setelah itu. Azwar berdiri dan mengarahkan tangannya kekepala Nazwa, tangannya sedikit bergetar karna gugup. Dibacakannya do’a barokah lalu dengan perlahan mengecup lembut kening istrinya itu. Rasa sayangnya seakan mau meledak keluar. Azwar kembali ketempat duduknya dengan memegang tangan istrinya penuh cinta.
“Aku bahagia dapat menjadi istrimu..” kata nazwa dengan memandang lekat wajah suaminya.
Tiba – tiba nafas Nazwa terdengar berat, Azwar kaget mendengarnya dan segera keluar memanggil bu Fatimah dan dokter. Azwar masuk lagi dan segera memeluk istrinya dengan erat, tapi nafas Nazwa tetap saja berat. Dan setelah ia menarik nafas panjang, tak terdengar apa – apa lagi dari mulut Nazwa. Ia telah pergi menghadap kehadirat Allah dalam keadaan masih dipeluk Azwar.
Semua merasakan kepedihan dalam hatinya karna telah kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupnya. Apalagi Azwar yang baru sesaat merasakan kebahagiaan bersama istrinya. Handphone yang ada dalam sakunya bergetar hebat. Ada telpon dari nomor tak dikenal.
“Assalamu’alaikum…” sapa Azwar.
“Wa’alaikumussalam, benar ini nomernya pak Azwar.?” Sahut orang disebrang telpon.
“Iya benar, ada apa ya.? tanya azwar.
“Dua bulan yang lalu bapak mengirimkan sebuah buku kan.? Nah, dua minggu setelah buku itu kami terima, kami cetak lalu menerbitkannya. Buku itu ternyata disukai orang banyak dan sudah habis dipasaran. Kami berencana mencetak ulang buku itu, kami minta nomor rekening anda untuk mentransper royaltinya.” Jawab orang itu dengan jelas.
Azwar seakan mendapatkan anugrah dibalik kesedihan yang menimpanya, tidak ia sangka cita – cita Nazwa terkabul sudah. Ia tatap wajah istrinya sekali lagi, Nazwa bagai tidur pulas dengan sesungging senyum dibibirnya, seakan – akan ia sedang bermimpi indah. Semua yang hadirpun bisa tersenyum bahagia menyaksikan hal itu.

Itulah Senyum Kemenangan

di Penghujung Jalan…


Tidak ada komentar: